Hidup Perempuan Adalah Perjuangan Tanpa Akhir

Hidup Perempuan Adalah Perjuangan Tanpa Akhir

Essay dengan judul Hidup Perempuan Adalah Perjuangan Tanpa Akhir ditulis oleh Retno Wulan Cahyaningrum.

Hidup Perempuan Adalah Perjuangan Tanpa Akhir

Sepanjang peradaban yang masih ada maupun yang telah tiada tidak dapat ditepis bahwa terbentuknya berbagai peradaban itu merupakan serangkaian panjang berisi peristiwa-peristiwa yang dijalankan oleh manusia sebagai subjek dan objek dalam ruang dan waktu. Manusia memiliki kekuasaan dalam menentukan dan membuat keputusan, baik keputusan atas dirinya sendiri maupun keputusan yang berdampak bagi orang lain.

Namun, apakah benar manusia memiliki keputusan sepenuhnya atas hidupnya sendiri? Lalu bagaimana dengan perempuan apakah sepanjang peradaban tersebut mereka telah menentukan keputusan atas hidupnya sendiri?

Perempuan dalam sepanjang sejarah peradaban manusia mengalami perkembangan dan perubahan. Di mana dapat dilihat bahwa perkembangan dan perubahan tersebut terwujudkan atas nilai-nilai kesadaran perempuan terhadap hak-hak mereka yang semakin lantang disuarakan.

Hal ini tidak dapat terlepas dari perkembangan zaman yang mempengaruhi bergesernya nilai-nilai budaya secara masif. Selain itu, juga mempengaruhi bagaimana nilai-nilai sosial baru terbentuk dan pandangan baru akan peran serta kedudukan perempuan dalam masyarakat. Kesadaran perempuan atas hak-hak mereka dan kesetaraan kedudukan dalam masyarakat tidak terjadi begitu saja. Sulit membayangkan bagaimana tatanan kehidupan masyarakat yang terbentuk secara patriarkis dapat menyadari posisi dan kedudukan perempuan dalam masyarakat dengan menjunjung tinggi nilai kesetaraan dan keadilan.

Perjuangan, perjuangan, dan perjuangan.

Dalam usahanya untuk dapat diterima masyarakat atas pemikiran nilai-nilai kesetaraan yang dianut dan hak yang pantas didapatkan. Perempuan melakukan perjuangan, apakah perjuangan mereka dengan menodongkan senjatanya diam-diam atau secara terang-terangan menembaki orang-orang yang tidak setuju akan pemikirannya? tentu akan dianggap hanya perempuan gila yang melakukan itu.

Jika langkah perjuangan dilakukan sedemikian rupa niscaya perempuan di masa kini masih tetap melakukan tradisi pingitan atau seburuk-buruknya perempuan dianggap membawa sial. Kemudian, rumah sakit jiwa adalah tempat abadi bagi para perempuan. Namun, jika bentuk perjuangan yang sedemikian rupa dengan menodong senjata dilakukan oleh laki-laki apakah mereka disebut gila? Ironis!

Dalam keputusasaan perempuan-perempuan pendahulu yang hidup dalam kegilaan perang, kemiskinan, ataupun upaya dalam bertahan hidup. Jangankan berpikir mendapatkan kesetaraan sebagai perempuan dalam kehidupan di masyarakat, mereka bahkan tidak memiliki kesempatan untuk membicarakan hak-hak nya terlalu jauh. Jika kita membicarakan bahwa perempuan di masa lalu dapat menyuarakan hak-hak mereka, dengan kenyataan yang ironis bahwa untuk menentukan keputusan atas hidupnya sendiri pun perempuan tidak memiliki sedikitpun kesempatan.

Anne Frank seorang gadis Yahudi yang hidup di era kebengisan Nazi. Dia berjuang dalam melawan kebengisan dan sikap-sikap tidak manusiawi dengan mempertahankan goresan pena dalam bukunya agar dunia bisa melihat kekejaman Nazi.

Kartini seorang perempuan bangsawan Jawa dan seorang feminis Jawa yang hidup dalam masa di mana gerak perempuan begitu terbatas. Namun, ia tidak pernah berputus asa dalam memperjuangkan hak-hak kaum perempuan.

Dalam suratnya yang ia kirimkan pada sahabatnya di Belanda, ia menulis “Dan mengenai perkawinan di sini, aduh, azab sengsara masih merupakan ungkapan yg terlalu halus untuk itu! Lalu, bagaimana nikah itu akan lain sedankan hukumnya saja semua dibuat untuk laki-laki, tidak ada untuk perempuan”. Perjuangan Kartini terhadap perempuan di masa itu bukanlah seperti bentuk perjuangan sahabat-sahabatnya di Eropa yang menyuarakan hak-hak mereka untuk dapat memiliki kesetaraan di kehidupan masyarakat. Namun, perjuangan Kartini adalah melawan nilai-nilai patriarki Jawa.

Perjuangan dalam melawan nilai patriarki Jawa dilakukan dengan menulis pemikiran-pemikirannya dalam surat-surat untuk sahabatnya di Belanda. Dalam surat-suratnya ia berjuang melawan nilai-nilai patriarki jawa yang mengakar. Dalam suratnya ia menulis perihal apa yang terjadi pada perempuan- perempuan yang hidup dalam kungkungan tradisi jawa dan tentunya semua perempuan di masa Kartini memiliki garis nasib yang sama tidak lain adalah perkawinan dini, poligami dan bagaimana perempuan tidak memiliki kesempatan untuk memilih nasibnya sendiri. Demikian, Hanya kawin satu-satunya tujuan akhir dari kehidupan sebagai seorang perempuan di masa itu.

Perjuangan untuk kaum perempuan tidak hanya dilakukan oleh Kartini

Sebut saja Rohana Kudus, dia menulis dalam surat kabar Soenting Melayu pada tahun 1912. Tulisannya mengangkat isu-isu sensitif terkait adat yang tidak ramah bagi perempuan, keterbatasan akses perempuan dalam pendidikan, dan poligami.

Nama lainnya seperti Maria Walanda Maramis dari Sulawesi Utara, Dewi Sartika dari Jawa Barat dan Nyi H. Achmad Dahlan dari Yogyakarta yang memperjuangkan pendidikan bagi perempuan. Kemudian, di masa yang sama kaum perempuan di luar sana juga memperjuangkan hak-hak perempuan untuk mendapatkan kesetaraan kedudukan di masyarakat. Salah satunya adalah Louisa May Alcott penulis novel Little Woman dalam novelnya ia menuangkan pemikirannya terkait perempuan.

women, they have minds, and they have souls, as well as just hearts. And they’ve got ambition, and they’ve got talent, as well as just beauty. I’m so sick of people saying that love is all a woman is fit for”.

Dalam masa-masa perjuangan yang tidak pernah berhenti, nilai-nilai dan pemikiran atas kesetaraan dalam kehidupan di masyarakat seringkali disalahpahami dengan berpikir bahwa kesetaraan yang dimaksud adalah perempuan ingin menggeser laki-laki. Perempuan ingin menjadi alpha dalam segala hal, tetapi kenyataan bahwa pemikiran-pemikiran itu sungguh melenceng dari kesetaraan yang diperjuangkan. Kesetaraan yang diperjuangan oleh perempuan adalah hak-hak yang sama dengan laki-laki di masyarakat. Demikian, perempuan sebagai manusia dapat menentukan keputusan atas hidupnya sendiri dan dihormati atas keputusannya.

Perjuangan perempuan atas hak-haknya tidak akan pernah berhenti. Di setiap masa yang terus berlanjut, perempuan akan meneruskan perjuangan-perjuangan perempuan terdahulu, para pemberi gebrakan atas dasar pemikiran bahwa perempuan dapat memilih dan menentukan keputusan atas hidupnya sendiri. Bahwa perempuan semestinya dipandang sejajar di kehidupan masyarakat serta bahwa perempuan tidak ditakdirkan hanya untuk diam mengikuti keputusan orang lain atas hidupnya. Selain itu, perempuan dapat menyatakan tidak atas hal yang tidak mereka inginkan serta dapat mengekspresikan diri. Demikian, bahwa hidup sebagai seorang perempuan adalah perjuangan tanpa akhir.

Bionarasi:

Halo perkenalkan saya Retno Wulan Cahyaningrum, saat ini usia saya 21 tahun dan saya suka Taylor Swift. Di masa mendatang, saya memiliki keinginan untuk menjadi copywriter. Alasan ingin menjadi copywriter yaitu karena saya suka menulis dan update dalam mengikuti trend yang terjadi. Jika nasib berpihak pada saya maka tulisan ini akan menjadi langkah awal dalam mencapai keinginan saya.

Baca Juga: DALAM PUSARAN BUMI: Menguak Misteri Gempa Bumi di Indonesia