Saat ini, mayoritas orang Indonesia tidak bisa bahasa Belanda. Agak aneh rasanya, mengingat penjajahan Belanda terhadap penduduk nusantara konon memakan waktu ±3 abad lamanya. Interaksi budaya yang berlangsung sangat panjang nampaknya tak berpengaruh signifikan terhadap aspek dasar dalam berkomunikasi, yaitu bahasa.
Jika kita perhatikan negara lain seperti India (ex. jajahan Inggris) atau Senegal (ex. jajahan Perancis), penduduknya sangat fasih berbicara bahasa penjajahnya. Di sisi lain, masyarakat Indonesia modern nyaris tidak pernah menggunakan bahasa Belanda dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan, mengapa bahasa Belanda tidak terakulturasi dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia?
Eksklusivitas Bahasa Belanda: Konsekuensi Kebijakan Penjajah yang Berorientasi Profit
Awal abad ke-17, Belanda datang ke nusantara menggunakan bendera VOC (Verenigde Oostindische Compagnie, perusahaan serikat dagang Belanda). Sebagaimana halnya perusahaan komersil yang menerapkan prinsip ekonomi, tujuan utama VOC adalah mengeruk keuntungan maksimal dengan usaha minimal. Segala keputusan dan arah tindakan VOC sejalan dengan prinsip tersebut, yang lantas berimbas pada penyebaran Bahasa Belanda di nusantara. Kok bisa?
Faktor yang mungkin mempengaruhi terbatasnya penyebaran bahasa Belanda adalah strategi Belanda dalam mendominasi daerah koloninya. Cara mereka untuk menguasai wilayah nusantara yang sangat luas adalah dengan mengontrol penguasa-penguasa lokal. Selain efektif, metode tersebut lebih efisien secara ekonomi daripada harus memasyarakatkan nilai hidup dan budaya Belanda (termasuk bahasa) kepada rakyat biasa, yang mana memakan biaya lebih besar.
Belanda sendiri tidak memiliki niat untuk meninggalkan legacy budaya di bumi nusantara, karena menilai hal tersebut kurang mendatangkan keuntungan. Oleh karena itu, mereka hanya mengajarkan bahasanya secara terbatas kepada para dan elit dan petinggi pribumi, tidak untuk rakyat jelata. Dampaknya, bahasa Belanda hanya digunakan untuk kepentingan formal pemerintahan dan administrasi, sedangkan bahasa lokal tetap mendominasi percakapan sehari-hari.
Kita dapat berasumsi bahwa mereka cuma mau ngajak bicara orang pribumi kalau menguntungkan belaka. Sederhananya, Belanda nggak mau rugi!
Trivia
* Trivia 1: Sifat nggak mau rugi orang-orang Belanda sudah terkenal seantero dunia. Sampai-sampai ada istilah tersendiri untuk split bill (bayar masing-masing) dalam Bahasa Inggris, yaitu “Go Dutch” (Dutch=orang Belanda). Istilah tersebut merujuk pada sifat orang Belanda tak sudi merugi demi harus bayarin orang lain.
* Trivia 2: Nilai valuasi VOC diperkirakan adalah yang terbesar sepanjang sejarah dunia. Merujuk laporan dari visualcapitalist.com tahun 2017, valuasi VOC ditaksir mencapai 7,9 triliun USD (menyesuaikan inflasi). Kalau menggunakan konversi rupiah saat ini, nilainya menjadi ±Rp120,000,000,000,000,000 (120 kuadriliun rupiah, nolnya banyak banget!). Nilai yang sangat bombastis tersebut bahkan masih jauh lebih besar daripada valuasi gabungan korporat-korporat raksasa modern seperti Apple, Microsoft, Amazon, Samsung, Exxon Mobil, dan Chevron. Hmm, apakah ini berhubungan sama hal-hal di atas, ya?
Pembentukan Identitas Nasional dan Perkembangan Zaman: Penyebab Punahnya Penggunaan Bahasa Penjajah
Catatan sejarah menunjukkan bahwa Sumpah Pemuda menjadi tonggak awal persatuan rakyat nusantara. Seluruh masyarakat melalui perwakilan Pemuda, sepakat untuk bertanah air, berbangsa, dan berbahasa satu, Indonesia. Gerakan ini pulalah yang menjadi katalis dalam upaya mencapai kemerdekaan, yang akhirnya berbuah manis pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dengan lahirnya Indonesia sebagai sebuah negara baru, para petinggi negara berusaha menciptakan identitas nasional sebagai sebuah bangsa yang merdeka. Upaya tersebut termasuk implementasi Pancasila sebagai ideologi bangsa, doktrinisasi nilai Bhinneka Tunggal Ika, sosialisasi nasionalisme ke dalam sistem Pendidikan, dll. Penetapan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional juga dilakukan, dengan demikian menghilangkan penggunaan bahasa penjajah demi menghapus jejak kolonialisme.
Hasilnya, cita-cita para pendahulu pada saat Sumpah Pemuda masih dapat kita rasakan sampai sekarang. Terlepas dari segala masalah dan tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia, kita masih tetap berdiri sebagai satu negara, satu bangsa, dan berbahasa satu, walaupun terdapat perbedaan suku, agama, ras, dan golongan.
Irelevansi Bahasa Belanda di Zaman Modern
Seiring pergantian generasi, bahasa Belanda di Indonesia pun berangsur hilang menuju kepunahan. Orang-orang tua tidak lagi mengajarkannya kepada anak cucu. Selain karena tidak terlalu bermanfaat, sentimen negatif terhadap Belanda menjadi salah satu faktor. Bahasa Belanda mengingatkan masyarakat akan kekejaman dan opresi para penjajah, yang tentunya sama sekali tidak menimbulkan kesan baik.
Di sisi lain, Bahasa Inggris muncul sebagai bahasa global. Lebih penting untuk mempelajari bahasa Inggris daripada bahasa Belanda yang sepertinya tidak memberikan nilai tambah apapun. Kalau kita melihat kondisi saat ini, masyarakat Indonesia rata-rata bisa berbicara 3 bahasa: bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa Inggris. Bahasa Belanda sudah kehilangan relevansinya di tanah air, dan hanya dianggap sebagai bahasa “kuno”.
Akibat dari hal-hal tersebut, bangsa kita nyaris sudah lupa sama sekali apa itu bahasa Belanda.
Pengaruh Belanda terhadap Bahasa dan Sastra Indonesia
Terlepas dari hilangnya kemampuan bangsa kita dalam berbahasa Belanda, pengaruh Belanda cukup signifikan terhadap perkembangan bahasa dan sastra Indonesia. Hal ini dapat terlihat di berbagai aspek, contohnya seperti pada kosakata, genre dan tema sastra.
- Kosakata: Terdapat sejumlah kosakata Belanda yang telah terserap ke dalam Bahasa Indonesia. Beberapa contohnya antara lain seperti kulkas (koelkast), kantor (kantoor), handuk (handdoek), pulpen (vulpen), rokok (roken), resleting (rits sluiting), dan apotek (apotheek).
- Genre Sastra: Sebelum kedatangan Belanda, genre sastra nusantara umumnya berbentuk mitos, saga, dan legenda, yang terpengaruh oleh budaya Hinduisme, Budhaisme dan Islam. Belanda kemudian memperkenalkan gaya dan genre sastra baru seperti novel, cerpen, esai, puisi dan sastra realisme.
- Isu dan Tema: Opresi Belanda menimbulkan protes dari rakyat Indonesia, yang kemudian dituangkan ke dalam karya sastra bertema perjuangan dan kritik sosial. Contoh yang terkenal yaitu pada puisi-puisi Chairil Anwar seperti Diponegoro, Prajurit Jaga Malam, dan Krawang-Bekasi. Pramoedya Ananta Toer juga kerap menceritakan kisah penderitaan dan kehidupan masyarakat Indonesia pada era perjuangan.
Itulah gambaran besar mengapa saat ini kebanyakan orang Indonesia tidak bisa bahasa Belanda. Walau mungkin sudah tidak paham bahasa satu sama lain, kedua negara terus berupaya untuk menjalin hubungan baik. Baru-baru ini, Mark Rutte selaku Perdana Menteri Belanda (sekarang mantan), menyatakan bahwa Belanda mengakui 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Indonesia (sebelumnya 27 Desember 1949). Hal ini dinilai sebagai suatu langkah besar dalam memperbaiki hubungan Indonesia dan Belanda pasca kemerdekaan. Semoga hubungan baik kedua negara dapat berlangsung sampai seterusnya, ya!
Baca juga: